Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja saat ini menjadi Pilar dalam Kerangka Peningkatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (The Pillars of Global Strategy of Occupational Safety and Health). Tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana mengembangkan kerangka kerja membudayakan Keselamatan dan Kesehatan Kerja di kalangan industri khususnya Pertambangan. Berbagai hambatan yang ada dalam meningkatkan budaya K3 perlu diatasi secara terencana dan sistimatis melalui peningkatan kesadaran dan pengetahuan dalam bentuk formal maupun non formal.

Berbagai program telah banyak dikembangkan dalam upaya memperkecil angka kesakitan dan kematian akibat kerja. Berawal dari laporan International Atomic Energy Authority (IAEA) pada tahun 1991 tentang kecelakaan yang terjadi di Chernobyl di tahun 1986 yang memperkenalkan budaya keselamatan, perhatian akan budaya keselamatan pada suatu organisasi mulai dilirik sebagai salah satu penyebab terjadinya major accident. Usaha untuk menurunkan tingkat kecelakaan dimulai dari usaha untuk memperbaiki dan meningkatkan teknologi (engineering, equipment, Safety, compliance) dan sistem (integrating HSE, certification, competence, risk assessment), namun demikian teknologi dan sistem ini tidak dapat menurunkan tingkat kecelakaan sampai pada tingkat yang diinginkan. Kemudian pada akhir tahun 1990 dilakukan pendekatan budaya (behavior, leadership, accountability, attitudes, HSE as profit center), ternyata pendekatan ini dapat menurunkan tingkat kecelakaan ke level yang lebih rendah.

Menurut Matthew Lawrie et al. dalam Safety Sciences (2006), Tingkatan Budaya Keselamatan dan Kesehatan Kerja di sebuah perusahaan sebagai bagian dari budaya organisasi terdiri dari:

1.Pathological, Tingkatan paling bawah dari Budaya K3 dimana pada kondisi ini setiap orang yang ada dalam organisasi tidak ada yang peduli satu sama lain karena mengganggap itu adalah tanggung jawab dan risiko masing-masing.

2.Reaktif, Tingkatan kedua yang sedikit lebih baik daripada Pathological dimana sudah terbentuk budaya bertindak setelah terjadi kecelakaan atau kegagalan.

3.Calculative, Tingkatan ketiga berikutnya dimana pada tingkatan ini sudah terdapat sistem pengendalian bahaya dan risiko di tempat kerja.

4.Proaktif, Tingkatan keempat dimana Safety Leadership dan Values sudah diterapkan, dan perbaikan secara terus menerus sudah dilakukan dengan melibatkan pekerja untuk bersifat proaktif dalam mengidentifikasi potensi bahaya dan risiko.

5.Generatif, Merupakan tingkatan tertinggi dalam Budaya K3 dimana pada tingkatan ini keselamatan dan kesehatan kerja sudah merupakan bagian dari setiap proses dan kegiatan bisnis pada perusahaan tersebut dalam segala tingkatan.

Untuk mengembangkan budaya keselamatan yang positif ada beberapa point yang harus dilakukan yaitu; merubah sikap dan perilaku, komitmen manajemen, keterlibatan karyawan, strategi promosi, training & seminar dan spesial program. Sedangkan Budaya keselamatan yang positif memiliki lima komponen, yaitu :
1. Komitmen manajemen terhadap keselamatan.
2. Perhatian manajemen terhadap pekerja.
3. Kepercayaan antara manajemen dan pekerja.
4. Pemberdayaan pekerja.
5. Pengawasan, tindakan perbaikan, meninjau ulang sistem dan perbaikan secara terus menerus.

Sedangkan berdasarkan hasil kajian berbagai literatur tentang budaya keselamatan yang dilakukan oleh Choudhry R.M., et al. maka dapat disimpulkan bahwa:
• Ditemukan banyak organisasi termasuk bidang pertambangan dan konstruksi sangat tertarik dengan konsep budaya keselamatan sebagai media untuk mengurangi kecelakaan kerja.
• Dari sisi definisi dapat ditegaskan bahwa budaya keselamatan tidak sama dengan iklim keselamatan. Iklim keselamatan merupakan produk dari budaya keselamatan.
• Budaya keselamatan yang positif akan menghasilkan sistem manajemen keselamatan yang efektif.

Belpas Hadiyanto, ST

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *